Minggu, 06 Juli 2014

Timpang, Pemanfaatan Potensi Perikanan Sumatera Utara


SEKTOR perikanan merupakan salah satu sektor yang menjadi tumpuan kehidupan banyak orang setelah sektor pertanian. Barangkali karena itu pula Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menempatkannya sebagai sektor strategis, terutama dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat ke depan.

Kebijakan ini tidak terlepas dari kondisi geografis Sumatera Utara (Sumut) sebagai daerah yang memiliki pantai dan pulau. Panjang garis pantai di provinsi ini tercatat 545 kilometer di wilayah pantai timur, yakni dari batas Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di utara hingga ke batas Riau di selatan yang terhampar persis dekat Selat Malaka. Di wilayah pantai barat, panjang garis pantainya tercatat 375 kilometer, sedangkan sekitar 380 kilometer lagi merupakan garis pantai di pulau-pulau Nias.

"Bagi Provinsi Sumut, sektor perikanan tetap menjadi andalan guna memacu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat daerah ini. Karena itulah, kebijakan pembangunan sektor ini ke depan didasarkan pada pendekatan pembagian tiga wilayah pengembangan," papar Ridwan Batubara, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut.

Tiga wilayah pengembangan tersebut masing-masing, wilayah pengembangan perikanan dan kelautan I. Daerah yang masuk wilayah ini, antara lain, Mandailing Natal, Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Nias. Potensi unggulan wilayah itu adalah penangkapan ikan lepas pantai dan perairan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).

Wilayah pengembangan II yang merupakan bagian tengah Sumut hanya bisa dikembangkan sebagai pusat perikanan budidaya. Misalnya, di sekitar Toba Samosir, Simalungun, Dairi, dan Tapanuli Utara.

Sama dengan wilayah I, pembangunan perikanan di wilayah III, yakni di bagian timur Sumut, tetap akan menjadi fokus pengembangan perikanan tangkap. Daerahnya terletak persis di sekitar perairan Selat Malaka, yaitu mulai dari Langkat di perbatasan NAD, hingga ke Medan, Deli Serdang, Tanjung Balai, Asahan, hingga Labuhan Batu dekat perbatasan Riau.


PENGEMBANGAN perikanan di wilayah II Sumut seyogianya tidak menemukan banyak masalah karena lebih pada budidaya darat yang sudah mengakar dari dulu di masyarakat. Persoalan paling besar di wilayah pengembangan I dan III Sumut, sebab sebagai andalan dan pusat aktivitas perikanan tangkap, maka ini terkait langsung dengan potensi alami di sana.

Pengurasan potensi perikanan laut yang tidak terkendali, apalagi dibarengi dengan cara-cara penangkapan di luar batas, misalnya bom ikan, jelas akan menjadi bumerang di belakang hari. Isyarat betapa potensi perikanan laut daerah ini sudah mulai tahap “lampu kuning" bisa dilihat dari ketimpangan potensi alami antara perairan pantai timur dan pantai barat Sumut.

Ini mengkhawatirkan karena akan mengancam keberadaan dua "gudang" ikan terbesar Sumut. Sudah sejak lama pantai timur dan barat Sumut menjadi ujung tombak perikanan tangkap, baik untuk pasar lokal, ekspor, maupun industri perikanan. Siapa pun tahu, Belawan dan Sibolga merupakan pelabuhan perikanan terbesar Sumut yang produksi ikan tangkapnya dikirim ke mana-mana.

Badan Riset Kelautan dan Perikanan tahun 2001 mencatat, potensi perikanan di perairan pantai timur Sumut (sekitar Selat Malaka) tercatat sekitar 276.030 ton per tahun. Sedangkan pemanfaatan per tahun 2003 tercatat sekitar 255.499,2 ton.

"Angka ini memang mengejutkan karena, dengan data-data di atas, tergambar jelas kondisi perairan pantai timur Sumut sudah mendekati over fishing atau padat tangkap. Keadaan demikian menunjukkan betapa potensi perairan pantai timur sekitar Selat Malaka sudah sulit dioptimalkan karena tingkat pemanfaatannya mencapai 92 persen," kata Ridwan Batubara.

Data Badan Riset Kelautan tersebut setidaknya memberi gambaran bahwa eksploitasi potensi perikanan tangkap di daerah ini tampaknya mulai timpang. Bandingkan dengan potensi perikanan di pantai barat Sumut (sekitar Samudra Hindia). Potensi perairan ini tercatat 1.076.960 ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 baru mencapai 96.597,1 ton (8,96 persen).

"Tingkat pemanfaatan potensi sumber daya perikanan yang belum merata di Sumut, khususnya perikanan tangkap, jelas berpengaruh serius. Salah satunya berdampak terhadap hasil tangkapan yang tidak berimbang karena penangkapannya yang tidak rasional," ujar Ridwan Batubara.

Agar ketimpangan tersebut tidak berlanjut, sudah selayaknya Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut berupaya melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap sumber daya perikanan tangkap. Caranya, bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan kota yang menjadi penanggung jawab teritorial setempat. Selain itu, untuk pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan di Sumut, diharapkan pula adanya patroli pengawasan pantai maupun samudra secara berkesinambungan.

Langkah-langkah di atas memang harus dilakukan untuk menjamin produksi perikanan di Sumut. Apalagi, lonjakan produksi penangkapan ikan daerah ini tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan potensi yang ada. Tahun 2002, misalnya, produksi penangkapan ikan di laut tercatat 345.192,4 ton, sedangkan tahun 2003 tercatat 352.096,2 ton atau hanya naik sekitar 1,9 persen.

Sektor perikanan tampaknya memang tidak semata menjaring ikan, memancing, atau sekadar membuat keramba. Penggarapan potensi perikanan laut yang timpang pasti akan mengancam kelangsungan hidup nelayan ke depan.... (ahmad zulkani)

Potensi Perikanan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara

Kabupaten Mandailing-Natal adalah kabupaten yang dibentuk berdasarkan UU No. 12 tahun 1998, dari pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Mandailing-Natal memiliki potensi usaha penangkapan dan budidaya, dimana luas laut sejauh 12 mil diperkirakan seluas 3.778,08 km2 dengan panjang pantai 170 km (Dinas Kelautan dan Perikanan Mandailing Natal, 2002). Kabupaten ini memiliki volume produksi sub sektor perikanan laut sebesar 1.3963,7 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 95.383.450.000, serta jumlah perahu/kapal sebanyak 948 unit, dan jumlah alat tangkap sebanyak 1.055 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara, 2001). Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Mandailing-Natal hampir dilakukan secara terkontrol, sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan, serta produktivitas optimum terus terjaga. Setiap wilayah yang dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan perlu diketahui jumlah potensinya, bagaimana tingkat pemanfaatamya dan upaya-upaya pengembangannya di era otonomi daerah yang sekarang sudah dimulai. Sistem pengembangan wilayah pesisir berbasis perikanan tangkap tidak hanya mencakup faktor produksi, melainkan mencakup pula berbagai faktor terkait Iainya seperti sumberdaya manusia, sarana dan prasarana dan kelembagaan yang terkait dengan perikanan tangkap. Oleh karena itu dalam upaya pengembangannya perlu mempertimbangkan berbagai faktor terkait dalam sistem perikanan tangkap tersebut.
            Usaha penangkapan ikan yang ada di pantai barat Kabupaten Mandailing-Natal tergolong dalam usaha kecil (small scale iizdzcstty fisheries). Terdapat beberapa kelompok sumberdaya ikan yang tingkat pemanfaatamya masih rendah yaitu masih dibawah 50 % seperti pada kelompok sumberdaya ikan demersal (5,58%), kelompok sumberdaya ikan pelagis (10,SO %) dan ikan karang (20,72 %). Sedangkan pada kelompok sumberdaya udang sudah berlebihan pengusahaannya (over exploited) yaitu 113,15 %.
            Dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Mandailing-Natal diketahui beberapa komponen yang berperan dalam pembangunan dan pengembangan dunia kelautan dan perikanan. Pihak-pihak atau pelaku-pelaku yang terlibat dalan sistem perikanan tangkap di Mandailing-Natal adalah nelayan, pedagang, pengolah, juragan, konsumen, TPI, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Pemda. Ada juga beberapa masalah utama yang berkaitan dengan sistem perikanan di Kabupaten Mandailing-Natal, yaitu: sebagian besar nelayan masih menggunakan bidang usaha penangkapan dengan rnenggunakan kapal motor di bawah 5 GT dan perahu tanpa motor dan pasca penangkapan secara tradisional, keterbatasan modal dan rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan, fasilitas (sarana dan prasarana) masih sangat terbatas dan tidak memadai, pelelangan tidak dilaksanakan di TPI. Pengendalian operasi penangkapan perlu dilakukan mengingat adanya sumberdaya ikan yang telah mengalami tangkap berlebih. Untuk itu pemerintah daerah melalui dinas kelautan dan perikanan perlu melakukan pengendalian dengan mengurangi jumlah alat yang dioperasikan untuk menangkap sumberdaya udang yang telah mengalami tangkap berlebih tersebut dalam hal ini adalah dogol. 
 

Martabe Kembangkan Usaha Perikanan Air Tawar di Batangtoru







Budidaya perikanan air tawar.

TAPANULI SELATAN – Guna memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan kesejahteraan ekonomi dan sosial kemasyarakatan, Tambang Emas Martabe berupaya mengembangkan potensi lokal di lingkar wilayah operasinya. Salah satunya lewat pengembangan usaha perikanan air tawar di sejumlah desa di Kecamatan Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Program pengembangan perikanan air tawar itu, dilakukan melalui kelompok tani dan kelompok pemuda desa setempat.  Salah satunya lewat Kelompok Pemuda Desa Wek IV, yang sejak April 2011 mendapat bantuan pembesaran 600 ekor ikan nila berikut peralatannya.
Di Desa Sumuran, Tambang Emas Martabe mendukung pembesaran 10.000 bibit ikan lele dan nila, berikut bantuan pakan dan peralatannya bagi Kelompok Tani Lestari Jaya, sejak Oktober 2011.
Kemudian di Desa Batuhula, sejak Mei 2012 Tambang Emas Martabe mendukung pembesaran 3.500 ekor bibit ikan emas, berikut pakan dan peralatannya bagi Kelompok Tani Marsada Dua.
Sedangkan di Desan Aek Pining, sejak Juni 2012 Tambang Emas Martabe mendukung pembesaran 3.000 ekor bibit ikan gurame beserta pakan dan peralatannya, yang diberikan melalui Kelompok Tani Ojolali.
“Kami selalu berupaya mengoptimalkan potensi sumber daya lokal, guna memberdayakan peluang dan merangsang pertumbuhan ekonomi, yang bermuara pada penciptaan aktivitas usaha mandiri dan berkelanjutan,” tutur Presiden Direktur G-Resources Martabe, Peter Albert.