*Dikompilasi
dari berbagai sumber: Akhir Matua
Harahap
Bagian-3
(habis): Laskar 'Pelangi' Sipirok, Letnan Sahala Muda Pakpahan dan
Benteng Huraba di Padang Sidempuan: Lahirnya Tokoh-Tokoh Militer dari Tapanuli
Bagian Selatan
Prakondisi di
Tapanuli Selatan dan Padang Sidempuan
Belanda
pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan tahun 1833 dari arah Natal yang ketika
itu di Tapanuli masih suasana Perang Paderi (1825-1838). Pihak Belanda lalu
mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan untuk menyatakan keberadaannya
di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di daerah
Pasaman. Setahun kemudian, Belanda memulai pemerintahan sipil di Tapanuli yang
dipimpin Asistent Resident berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli
masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis. Sebelum
Belanda masuk ke Tapanuli Selatan kawasan selatan Tanah Batak ini
terdiri dari berbagai luhat--dimana setiap luhat mempunyai pemerintah
sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada dibawah
pengaruh siapapun. Luhat-luhat yang dimaksud adalah Sipirok, Angkola,
Marancar, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Batang Natal, Natal,
Sipiongot dan Pakantan.
Kemudian pada tahun 1906 Tapanuli ditingkatkan menjadi keresidenan dan mengangkat seorang Resident
di Padang Sidempuan. Pada tahap selanjutnya ibukota Tapanuli
dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Sibolga sehubungan dengan kebijakan
pemerintahan Belanda membagi wilayah Tapanuli menjadi tiga afdeeling, yaitu: Padang Sidempuan, Sibolga dan Tarutung. Setiap afdeeling dipecah menjadi onderafdeling.
Khusus di wilayah afdeeling Padang Sidempuan (Tapanuli Bagian Selatan)
terdapat delapan onderafdeeling yang masing-masing dipimpin oleh seorang
Controleur yang berkedudukan di: Batangtoru, Angkola, Sipirok,
Padang Bolak, Barumun,
Mandailing, Ulu/Pakantan, dan Natal. Dibawah onderafdeeling, pemerintah
kolonial Belanda memperkenalkan distrik yang dikepalai oleh seorang
Demang. Kemudian di bawah Demang pemerintah kolonial Belanda
memperkenalkan Kuria untuk membawahi sejumlah kampung (huta).
Introduksi hakuriaan
ini merupakan upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk
menghilangkan fungsi luhat (yang dipimpin Raja Panusunan
Bulung) namun tidak ingin
mencampuri urusan 'pemerintahan' huta yang dipimpin oleh Raja Pamusuk
(Sipungka Huta). Huta ini dijalankan menurut hukum adat, tetapi secara
teknis pemerintah kolonial selalu intervensi untuk menentukan siapa yang
sebaiknya dijadikan Raja Pamusuk. Dalam perkembangan selanjutnya di
akhir masa kolonial (jelang pendudukan Jepang) jumlah onderafdeeling di Tapanuli Selatan diringkas menjadi tiga: Angkola/Sipirok, Padang
Lawas, dan Mandailing/Natal.
Pendidikan Ala
Barat di Tapanuli Selatan: Migrasi dan Pergerakan Politik
Dalam memulai
pemerintahan kolonial di
wilayah Tapanuli Selatan, pemerintah Belanda memperkenalkan
pendidikan barat (1853) dan kemudian membangun Kweekschool (sekolah
guru) di Padang Sidempuan 1879. Dalam waktu singkat, tidak sedikit putra
dan putri Tapanuli Selatan dari berbagai huta telah berhasil mengenyam
pendidikan barat, baik sebagai lulusan Kweekschool (Sekeolah Guru),
Volksschool
(Sekolah Rakyat), Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) setingkat sekolah dasar, Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO) setingkat sekolah menengah, maupun Algemeene
Middelbare School (AMS) setingkat
sekolah menengah atas. Tiga yang disebut terakhir menggunakan bahasa
Belanda. Dengan modal pendidikan dasar dan menengah ini memungkinkan
putra-putri Tapanuli Selatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi di perguruan tinggi di luar Sumatera,
seperti Rechtskundige Hooge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum yang
lulusannya bergelar Meester in de Rechten (Mr); Geneeskundige Hooge
School
(GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran, yang lulusannya bergelar dokter
(Dr);
Technische Hoge School (THS) atau Sekolah Tinggi Teknik yang lulusannya
bergelar ingenieur (Ir). Seluruh pendidikan tinggi ini ketika itu
menggunakan bahasa Belanda dan hanya terdapat di pulau Jawa..
Adanya
pendidikan ala barat lebih awal di Tapanuli Selatan dibanding daerah
lainnya
di Sumatera (Utara) dan terbukanya jalur pendidikan tinggi di luar
daerah
Tapanuli Selatan, memungkinkan putra-putri Tapanuli Selatan untuk
merantau
(migrasi). Di perantauan khususnya Sumatera Timur para migran ini dengan
mudah
mendapat pekerjaan di perusahaan-perusahaan asing, menempati posisi
dalam
bentuk-bentuk pergerakan politik dan menjadi guru-guru yang handal di
perantauan. Penyebaran guru-guru Padang Sidempuan ini sebagian
ditempatkan oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan guru di
Sumatera Timur, Aceh, Riau, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Sementara
itu, ketika dinamika pergerakan semakin terasa, pemuda-pemudi asal
Tapanuli
Selatan ini juga terus mengasah nasionalism di perguruan tinggi baik di
dalam
maupun di luar negeri. Pada tahun 1909 di negeri Belanda lahir Indische Vereniging
(yang akhirnya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) yang anggotanya terdiri para
mahasiswa. Cikal bakal terbentuknya Perhimpunan Indonesia ini pada awalnya digagas oleh Radjiun Harahap Gelar Sutan Casayangan, putra dan alumni
Kweekschool Padang Sidempuan yang waktu itu menjadi asisten Prof. Charles Adriaan van Ophuysen (ahli
bahasa Melayu) di Universiteit Leiden.
Singkat
cerita, di seputar kemerdekaan Republik Indonesia, putra-putri terbaik Tapanuli Selatan
sudah muncul dimana-mana dan telah memainkan peran yang penting di berbagai sektor, seperti Adam Malik Batubara (penggagas proklamasi), Mr. Amir Syarifuddin Harahap (One of Founding Father Indonesia / Perdana
Menteri), Dr. Gindo Siregar (Gubernur Jenderal Tapanuli-Sumatera Timur), Mr. Sutan Muhammad Amin Nasution (Gubernur Sumatera yang kedua dan Gubernur Sumatera Utara yang pertama dan yang kelima), Mr.
Luat Siregar (Residen Sumatera Timur/Walikota Medan pertama), Kolonel Abdul Haris Nasution (Panglima
Komando Jawa), Kolonel Zulkifli Lubis (ahli intelijen negara), Burhanuddin Harahap (Perdana
Menteri); Kolonel Ir. MO Parlindungan Siregar (ahli senjata lulusan
Jerman
yang bertempur di Surabaya). Abdul Hakim Harahap (Wakil Residen Tapanuli
/ Menteri Pertahanan / Gubernur Sumatera Utara yang keempat); Sutan
Kumala Pontas Nasution (Gubernur Sumatera Utara yang keenam), Radjamin Nasution Sutan Kumala Pontas (Walikota Surabaya yang pertama), Sutan Syahrir (Perdana Menteri) Amir
Bachrum Nasution, Marzuki Lubis, Martinus Lubis (pemuda pejuang Kota Medan), Sakti Alamsyah Siregar (Penyiar
RRI yang 'mengudarakan' rekaman pembacaan proklamasi oleh
Soekarno/Hatta secara diam-dima dan pendiri Harian Pikiran Rakyat
Bandung) dan Parada Harahap (Wartawan Pejuang).
Daftar ini belum termasuk para guru, sastrawan, wartawan dan pejabat
pemerintahan.
Pendudukan
Jepang dan Agresi Militer Belanda: Para Perantau ‘Mulak Tu Huta’
Di
Tapanuli Selatan, para orangtua dan para kerabat yang telah mengetahui
akan
kedatangan serdadu-serdadu fasis Jepang yang akan masuk ke nusantara
(termasuk
Tapanuli), meminta para pemuda-pemudi ini secepatnya pulang untuk
menyelamatkan
diri. Itulah sebabnya mengapa muncul gelombang
pengungsian anak-anak negeri yang berbondong-bondong kembali ke Tapanuli
Selatan dari tanah
perantauan saat itu, seperti: Sumatera Timur, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan,
bahkan yang berada jauh di pulau Jawa. Namun diantara putra-putra
Tapanuli
Selatan ini cukup banyak yang tidak sempat atau tidak berkeinginan
‘mulak tu huta’ (pulang kampung) karena merasa perannya lebih
dibutuhkan di dalam pergerakan, pemerintahan, pertahanan dan keamanan di
daerah rantau. Ternyata kemudian tidak semua pengungsi yang kembali ke
Tapanuli
Selatan menuju ke huta (kampung halaman) masing-masing dan sebagian
besar justru memutuskan tinggal (menetap) di Padang Sidempuan untuk
mengamati perkembangan keadaan dan
ikut memainkan peran dalam pergerakan politik, menyusun strategi
perjuangan dan membentuk fungsi-fungsi pertahanan untuk mengusir
penjajah.
***
Puncak
pergolakan akhirnya terjadi di Sumatera Timur dan kabar itu cepat
menyebar hingga ke Padang Sidempuan. Kelompok pejuang muncul ke
permukaan yang dimotori para
pemuda Sumatera Timur dan Tapanuli yang di satu sisi sudah muak dengan
Jepang selama pendudukan dan di sisi lain tidak sudi lagi kembalinya
pemerintah Belanda yang datang membonceng pasukan Sekutu. Dengan situasi
dan kondisi yang dihadapi, lahirlah barisan-barisan pembela RI dalam
beragam bentuk dimana-mana termasuk di Tapanuli.
Belanda lalu memulai agresi militernya yang pertama tanggal 21 Juli
1947, dan
menamakan tindakannya sebagai aksi polisionil. Sebagai catatan, agresi
militer
Belanda yang pertama sesungguhnya telah dimulai tanggal 12 Mei 1947,
karena di
pantai barat pulau Sumatera, kapal perang JT-1 dari Angkatan Laut
Belanda telah lebih dahulu memasuki teluk Sibolga dan menghujani ibukota
Keresidenan Tapanuli itu dengan
tembakan meriam dari laut yang menyebabkan kebakaran besar terjadi di
dalam kota. Rakyat Sibolga lalu berbondong-bondong meninggalkan ibukota
Tapanuli itu menuju pedalaman untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu,
agresi
militer Belanda di Sumatera Timur ketika itu juga telah menyebabkan
gelombang arus pengungsi dari berbagai daerah
konflik di Sumatera Timur menuju wilayah republik di Tapanuli. Para
pengungsi yang bergerak agak panik dan kacau-balau. Dalam rombongan
pengungsi ini terdapat rakyat sipil yang berusaha menyelamatkan diri dan
juga ternyata
terdapat juga sejumlah laskar yang terpukul mundur. Sampai dengan
tanggal 20 September 1947, jumlah pengungsi
dari Sumatera Timur tidak kurang dari 150.000 orang sudah berada di
daerah Tapanuli. Para pengungsi ini adalah rakyat yang tidak sudi
berdiam di daerah-daerah pendudukan Belanda dan kemudian
berbondong-bondong meninggalkan Binjai, Tanjung Pura, Pancur Batu,
Tanjung
Morawa, Lubuk Pakam, Rampah, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Brastagi
dan Kabanjahe. Sementara itu, adanya pengungsi yang lebih awal datang pada
bulan Juli 1947 saja sudah membuat wilayah Tapanuli menghadapi masalah
besar. Karena itu, panitia penampungan pengungsi pun lalu dibentuk di
berbagai kota di
Tapanuli termasuk Padang
Sidempuan. Di kota-kota tersebut juga didirikan pusat-pusat palang
merah.
***
Untuk
memberi
kebebasan bergerak kepada pemerintah republik di Tapanuli dalam keadaan
darurat, oleh Dewan Pertahanan Daerah (DPD) Tapanuli, jumlah kabupaten
yang
terdapat dalam Keresidenan Tapanuli ditingkatkan dari empat menjadi
menjadi sembilan kabupaten dan ibukota keresidenan lalu dipindahkan dari
Sibolga. Keputusan pemecahan wilayah ini diambil untuk menghindarkan
lumpuhnya pemerintah
republik di Tapanuli, apabila pasukan Belanda dalam agresi selanjutnya
berhasil
menduduki salah satu kabupaten di Tapanuli. Khusus di wilayah Tapanuli
Selatan, kabupaten kemudian dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu:
- Kabupaten Padang Sidempuan dengan ibukota Padang Sidempuan (terdiri dari Kewedanaan Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok),
- Kabupaten Batang Gadis dengan ibukota Panyabungan (terdiri dari seluruh Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal),
- Kabupaten Padang Lawas dan Barumun dengan ibukota Gunung Tua (terdiri dari Padang Lawas dan Barumun).
Padang Sidempuan
Jatuh Ke Tangan Pasukan Belanda
Setelah
mendapat gempuran bertubi-tubi dari laut, Sibolga akhirnya jatuh ke
tangan
Belanda tanggal 20 Desember 1948. Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu
maka wilayah Tapanuli terjepit. Lantas, pemerintah republik di Tapanuli
memutuskan untuk melebur semua laskar perjuangan yang ada (termasuk yang
mengungsi) di seluruh wilayah Tapanuli di bawah komando Mayor Maraden
Panggabean. Pimpinan komando lalu menugaskan pasukan republik Brigade-B
pimpinan Mayor Bejo untuk segera menahan serangan pasukan Belanda yang
sudah bergerak menuju Padang Sidempuan. Pada tanggal 28 Desember 1948,
pasukan
Belanda kemudian tiba di Batangtoru. Untuk menahan
akselerasi pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan republik yang
dimotori laskar Padang Sidempuan eks anggota Kapten (anm) Koima Hasibuan
untuk melakukan taktik pencegatan dan bumi
hangus. Karenanya, seluruh jembatan yang menuju Padang Sidempuan
diruntuhkan, pohon-pohon yang berdiri sepanjang jalan raya ditumbangkan
ke
tengah jalan, jalan-raya yang rata diberi berlubang dimana-mana agar
kendaraan
militer Belanda tidak dapat melewatinya, dan bangunan-bangunan yang
kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya lalu dibakar dan
diruntuhkan. Inilah salah satu bukti pengorbanan rakyat dan laskar
rakyat Padang Sidempuan dalam mengusir kedatangan (pasukan) Belanda ke
Padang Sidempuan kembali.
Semua
taktik bergerilya yang dilakukan laskar republik ketika itu ternyata
pasukan Belanda tetap saja merangsek. Pasukan Belanda yang berpengalaman
perang itu, lengkap
dengan persenjataan dan kendaraan lapis baja ternyata mampu mengatasi
rintangan yang ada. Pasukan
Belanda tampaknya mengungguli
pasukan republik. Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 1949 pasukan Belanda
berhasil memasuki wilayah Padang Sidempuan. Setiba di dalam kota,
pasukan Belanda tampaknya 'kecele' karena menemukan ibukota Padang
Sidempuan itu sudah dibumihanguskan--seperti halnya 'Bandung lautan api'
24 Maret 1946. Pasukan Belanda juga menemukan kota dalam keadaan kosong
karena telah ditinggalkan rakyat Padang Sidempuan mengungsi ke luar
kota. Pasukan Belanda tampaknya tidak menduga apa yang telah dilalui dan
yang terjadi di depan mata. Sebaliknya, apa yang telah dilakukan oleh
pasukan gerilya telah menunjukkan bukti bahwa pasukan gerilya dapat
membuat nyali pasukan Belanda menjadi selalu waswas dan mungkin
keberaniannya bisa jadi telah mengendor.
Jembatan Batang Toru 1936-1939 (Foto: KITLV..NL) |
***
Pemerintah
republik di Padang Sidempuan pimpinan Bupati Sutan Doli Siregar, Patih Ayub
Sulaiman Loebis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala
persediaan makanan (logistik) rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang
Sidempuan menuju Sipirok (ibukota Kewedanaan Siprirok). Dari Sipirok para pimpinan itu direncanakan unuk meneruskan
perjalanan ke Panyabungan (sebagai ibukota Kabupaten Batang Gadis). Di Kewedanaan
Sipirok sendiri, antisipasi perlawanan terhadap pasukan Belanda sudah terbentuk dan dilakukan oleh laskar
rakyat yang dinamakan AGS (Angkatan Gerilya Sipirok). AGS ini dipimpin oleh Sahala Muda
Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar.
Komando angkatan gerilya Sipirok ini selanjutnya menjadi sangat penting untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda dan membuat pertahanan di Sipirok dan penyerangan ke daerah induk Padang Sidempuan. AGS ini sendiri sesungguhnya baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok tanggal 3 Januari 1949. Sejumlah eks laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dan telah mengungsi di Sipirok lalu direkrut untuk memperkuat barisan AGS. Anggota laskar yang menganggur itu diantaranya para anak buah Kapten Koima Hasibuan, eks pasukan ‘Naga Terbang’ dan sejumlah anggota kepolisian Sipirok. Para laskar ini lalu seluruhnya dipersenjatai senapan locok yang hanya itu yang ada ketika itu. Dalam tempo yang realtif singkat, kekuatan barisan AGS sudah memadai dan siap untuk melakukan pertempuran besar.
Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik dalam pertempuran itu. Pasukan republik ini terpaksa mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta pejuang yang gugur dan anggota pasukan yang terluka. Selanjutnya pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda, dan pemerintahan republik di Sipirok terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa Indonesia telah berhasil melakukan diplomasi di PBB.
Komando angkatan gerilya Sipirok ini selanjutnya menjadi sangat penting untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda dan membuat pertahanan di Sipirok dan penyerangan ke daerah induk Padang Sidempuan. AGS ini sendiri sesungguhnya baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok tanggal 3 Januari 1949. Sejumlah eks laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dan telah mengungsi di Sipirok lalu direkrut untuk memperkuat barisan AGS. Anggota laskar yang menganggur itu diantaranya para anak buah Kapten Koima Hasibuan, eks pasukan ‘Naga Terbang’ dan sejumlah anggota kepolisian Sipirok. Para laskar ini lalu seluruhnya dipersenjatai senapan locok yang hanya itu yang ada ketika itu. Dalam tempo yang realtif singkat, kekuatan barisan AGS sudah memadai dan siap untuk melakukan pertempuran besar.
Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik dalam pertempuran itu. Pasukan republik ini terpaksa mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta pejuang yang gugur dan anggota pasukan yang terluka. Selanjutnya pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda, dan pemerintahan republik di Sipirok terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa Indonesia telah berhasil melakukan diplomasi di PBB.
Patroli pasukan Belanda |
Selanjutnya setelah pasukan Belanda mengetahui pemerintah republik telah meninggalkan Sipirok dan membuat pos di Arse, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya. Lantas pemerintahan Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok dipindahkan ke Simangambat. Sipirok sendiri masuk daerah pendudukan Belanda dan Arse adalah garis demarkasi yang menjadi teitori pihak Belanda. Pengungsian rakyat telah berlangsung sejak 7 Maret 1949. Pasukan Belanda yang terus menyerang itu pada dasarnya terdiri dari pasukan-pasukan yang bermarkas di Sipirok. Setiap pasukan umumnya terdiri hanya dua orang militer asli Belanda dengan perlengkapan militer lengkap tetapi didukung sejumlah anggota pasukan lainnya yang notabene merupakan orang-orang berkulit coklat yang mungkin berasal dari anak bangsa kita sendiri.
Benteng Huraba:
Batas Demarkasi Sisa Sumatera Utara dan Pusat ‘Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia’ di Bukittinggi
Dalam perkembangan
selanjutnya seiring dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan dan Siprok ke
tangan pasukan Belanda serta kekalahan yang dialami pasukan dan laskar
rakyat, maka atas inisiatif front pertahanan
republik di Huta Goti diadakan perundingan yang melibatkan berbagai
komponen
pertahanan yang berada di kantong-kantong gerilya di luar kota Padang
Sidempuan termasuk yang berada di wilayah Sipirok. Tujuan diadakan
perundingan ini untuk menyusun grand strategi dalam merebut kota
Padang Sidempuan kembali dari tangan pasukan Belanda. Kekuatan
perlawanan terhadap pasukan Belanda
tersebut meliputi pasukan yang terdiri dari Brimob Tapanuli pimpinan
Iptu Ibnu,
pasukan kompi Brigade-B
yang dipimpin Kapten Robinson Hutapea serta laskar rakyat AGS yang
dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan plus dukungan masyarakat. Dalam
perundingan itu, strategi penyerangan dan pertempuran direncanakan
dengan matang dan dikoordinasikan dengan baik. Hasilnya, dalam suatu
pertempuran yang boleh dikatakan cukup alot dan bahkan berlangsung
selama tiga hari dan akhirnya
dapat merebut kembali kota Padang Sidempuan. Inilah kali kedua kota
Padang Sidempuan direbut kembali dari pasukan Belanda (sebelumnya dari
arah Sipirok, kini dari arah Goti).
Setelah
kota Padang Sidempuan direbut, pasukan Belanda mundur ke Batangtoru.
Namun baru
berselang enam jam kota Padang Sidempuan ke pangkuan ibu pertiwi
kembali,
tiba-tiba secara mendadak muncul dua pesawat tempur di langit Padang
Sidempuan
dan menembaki kota yang disusul dengan pasukan Belanda yang melakukan
putar
balik di Batangtoru. Suasana panik dan serangan darat dari pasukan
Belanda dari
arah Batangtoru tidak mampu ditahan oleh gabungan pasukan dan terpaksa
harus
mundur secara bertahap ke Huta Goti, Huta Pijorkoling, Huta Pintu Padang
dan
akhirnya konsolidasi kembali untuk bertahan di Huta Huraba. Sementara
sebagian anggota pasukan yang dibantu oleh rakyat Padang Sidempuan ini
diminta agar tetap bertahan di
Huta Pijorkoling. Dalam suatu penghadangan di
Pijorkoling terjadi pertempuran dan pasukan mini ini mengalami kerugian
besar dan para pasukan republik mundur ke Huta Huraba untuk bergabung
dengan induknya. Akhirnya wilayah Padang Sidempuan sepenuhnya dikuasai
oleh pasukan
Belanda.
Pasukan
Belanda yang sudah menguasai wilayah Padang Sidempuan tampaknya belum puas dan
khawatir terjadi lagi perlawanan balik. Pasukan Belanda kemudian menyusun rencana
strategis baru untuk melumpuhkan lawan dalam rangka untuk
menguasai wilayah Mandailing. Lalu pasukan Belanda merangsek dan mulai
melakukan penyerangan terhadap lawan yang dilaporkan membuat pertahanan berupa
benteng di Huta Huraba. Rencana penyerangan dimulai dari Pijorkoling dengan
taktik serangan ‘holistik’ dengan cara mengepung dari empat jurusan. Pasukan
Belanda dalam hal ini dibantu oleh dua orang penunjuk jalan (scout) yang
desersi dari anggota Brimob Tapanuli yang bernama Makaleo dan Syamsil Bahri. Dalam
serangan pasukan Belanda yang tidak diduga pasukan RI itu, pasukan Belanda berhasil merebut Benteng
Huraba. Pasukan Brimob Tapanuli, Brigade-B dan laskar rakyat lantas mundur dan menjauh ke Huta Tolang.
***
Posisi
Benteng Huraba yang diduduki pasukan Belanda ini sangat strategis dan
menjadikannya sebagai garis front baru untuk mempertahankan wilayah Padang Sidempuan.
Karena itu, pasukan Belanda menetapkan untuk melakukan pertahanan di Benteng
Huraba. Sementara itu, di Huta Tolang, komandan Brimob Tapanuli yang datang dari
Panyabungan (ibukota Batang Gadis) mengumpulkan seluruh pasukan yang ada dan
melakukan konsolidasi kembali untuk tugas penyerangan balasan terhadap pasukan Belanda yang
sudah bertahan di Benteng Huraba. Pada
tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB penyerangan oleh pasukan
republik dilancarkan ke jantung pertahanan pasukan Belanda di Benteng
Huraba Dalam pertempuran di benteng ini
pasukan gabungan republik menggunakan
mortir untuk memperkuat daya tampur. Pertempuran ini terjadi sangat
heroik dan membutuhkan waktu dan baru pukul 16.30.WIB pasukan gabungan berhasil
memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba dapat direbut kembali.
Pasukan
Belanda yang dikalahkan lalu kocar-kacir dan mundur ke Padang Sidempuan.
Dalam pertempuran ini
ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan
republik baik
jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan Brimob Tapanuli sendiri yang
gugur
terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang.
Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam
pertempuran itu
tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur dalam pertempuran
yang
heroik itu. Untuk sekadar diketahui, Benteng Huraba sendiri adalah
pertahanan terakhir dari perlawanan
rakyat di wilayah Provinsi Sumatera Utara terhadap pasukan Belanda dalam
agresi
militer Belanda kedua. Suatu benteng yang pada masa ini berada di dekat
Kota
Padang Sidempuan di Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli
Selatan.
Benteng ini tidak saja lokasinya yang sangat strategis untuk sebuah
tempat pertahanan juga posisinya yang persis berada di jalur lintas
satu-satunya kala itu antara Padang
Sidempuan ke Bukittinggi.
Pertempuran Aek Horsik,
Simagomago: Letnan Sahala Muda Pakpahan (‘Jenderal Naga Bonar’) Menembak Mati Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor
Setelah pertempuran
di Benteng Huraba, diperoleh kabar dari intelijen di Padang Sidempuan
bahwa pasukan Belanda berikut kendaraan lapis baja akan mengalihkan
serangan ke Arse pada tanggal 8 Mei 1949. Ini berarti untuk penyerangan
balik ke Benteng Huraba tampaknya ditunda
sementara. Hal ini karena pasukan Belanda merasa khawatir pasukan
republik yang tengah bergerilya di seputar Sipirok semakin kuat dan
dapat menguasai
kembali Sipirok. Sebab selama pertempuran di Benteng Huraba dilaporkan
bahwa pasukan republik masih terus menerus melakukan gangguan terhadap
pasukan Belanda di Sipirok. Bahkan setiap langkah patroli pasukan
Belanda di Sipirok, pasukan republik tetap menunjukkan perlawanan.
Sementara itu, pada
tanggal 23 Mei 1949 para petinggi militer Belanda di Batavia akan
datang ke Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) untuk
mengapresiasi keberhasilan pasukan Belanda selama dua fase agresi di
daerah ini. Karena itulah, pasukan Belanda coba mengalihkan ke Sipirok
untuk membersihkan para laskar rakyat di Sipirok, karena toh pasukan
republik di Benteng Huraba semakin kuat dan sulit dikalahkan. Ini
berarti, pada saat kedatangan petinggi militer Belanda yang mau datang
sesungguhnya Sumatera
Utara (Sumatera Timur
dan Tapanuli) belum sepenuhnya dapat dikendalikan oleh pasukan Belanda.
Sebab Kabupaten Batang Gadis masih tetap menjadi daerah aman, tempat
dimana pemerintahan Padang Sidempuan sebelumnya melakukan pengungsian.
Peta Aek Horsik, 1905 |
Di Batavia, Panglima KNIL Letnan Jenderal Spoor (komandan
tertinggi militer Belanda di Indonesia)
merasa senang atas prestasi pasukan Belanda di Sumatera Utara (Sumatera
Timur
dan Tapanuli). Berdasarkan laporan yang
diterimanya bahwa wilayah Sumatera Utara ketika itu sudah sepenuhnya
telah dikuasai
pasukan Belanda, maka Jenderal Spoor dengan rombongan ingin memastikan
laporan itu dengan menggunakan jalan
darat dari daerah pertempuran terakhir di Padang Sidempuan menuju kota
Medan (dari selatan ke utara). Jenderal Spoor kemudian berangkat dari
Batavia menuju bandara Pinangsori (Sibolga) dan
Spoor langsung menuju Padang Sidempuan. Namun setiba di Padang Sidempuan
Jenderal Spoor sangat kecewa karena kenyataannya belum sepenuhnya
Keresidenan Tapanuli dikuasai, bahkan pasukan republik justru telah
membangun benteng
pertahanan yang kuat di Huta Huraba (jalan lintas Padang Sidempuan
menuju
Bukittinggi, tempat dimana waktu itu ibukota Republik Indonesia berada).
Makam Jenderal Spoor di Menteng Pulo, Jakarta |
Rakyat Sipirok waktu itu meyakini bahwa Jenderal Spoor meninggal di Sipirok, karena pasca kejadian penyergapan di Aek Horsik, iring-iringan sisa pasukan Belanda ketika mundur menuju Padang Sidempuan (untuk mengevakuasi Jenderal Spoor yang tertembak), rakyat Sipirok yang tinggal di sepanjang jalan raya Padang Sidempuan - Sipirok menyaksikan sendiri bahwa semua kendaraan militer pasukan Belanda dihiasi dengan tanda kuning (sesuatu yang mungkin tidak lazim dalam suatu pertempuran, kecuali ada hal khusus?). Juga, menurut pengamatan rakyat di Sipirok, Padang Sidempuan dan pos-pos penjagaan pasukan Belanda tampak bendera Belanda dalam posisi setengah tiang (sekali lagi, ini juga merupakan pemandangan yang tidak lazim). Untuk sekadar diketahui, dalam satu kesempatan Gubernur Sumatera Teuku Muhammad Hasan pernah dengan sengaja berkunjung langsung di Sipirok--suatu wilayah 'kecil' setara kecamatan di pedalaman pulau 'besar' Sumatera..
***
Dengan
tewasnya Jenderal Spoor di Sipirok, maka pasukan Belanda yang ada di
Padang Sidempuan dikerahkan untuk
menghajar pasukan AGS di Sipirok dan ingin menangkap hidup-hidup Letnan
Sahala Muda Pakpahan. Dalam pengejaran ini pasukan Belanda didukung
dengan pesawat capung Belanda
untuk memantau dari udara. Pasukan Belanda tampaknya sudah kalap karena
pasukan
AGS pimpinan Letnan Sahala Muda Pakpahan ini sangat lihai bergerilya.
Tak tahan
dengan permainan Letnan Sahala Muda Pakpagan dengan anggota pasukannya
yang
dibantu oleh rakyat, maka pasukan Belanda mulai menggedor rumah-rumah
rakyat dan
bahkan menembak setiap laki-laki dewasa. Pasukan Belanda menganggap
rakyat
adalah benteng para pasukan republik dan dari rakyat banyak yang ikut
menjadi
penjuang, maka tindakan mereka membunuh rakyat di rumahnya masing-masing
mereka
anggap legal. Inilah yang menyebabkan rakyat Sipirok banyak yang mati
terbunuh
di tangan pasukan Belanda. Aneh memang, begitu bernafsunya pasukan
Belanda untuk mengejar dan menangkap seseorang live or die hingga
tak mampu menahan diri untuk membunuh rakyat biasa yang tengah
membukakan pintu rumahnya ketika digedor-gedor hanya karena seorang yang
bernama Sahala Muda Pakpahan. Letnan
Sahala Muda Pakpahan, seorang pentolan laskar rakyat yang pemberani
yang masih berumur 23 tahun akhirnya dapat ditangkap dan ditahan
Belanda. Sekadar catatan: Banyak contoh kekejaman di dunia kemiliteran
dilakukan karena membalas kematian seorang teman seperjuangan, apalagi
membalas kematian seorang komandan. Peristiwa pertempuran Surabaya 10
Nopember 1945 diduga keras timbul karena kematian seorang Jenderal
Mallaby--komandan tertinggi pasukan Sekutu di Surabaya.
Ketika
rakyat
Sipirok mengetahui Letnan Sahala Muda Pakpahan telah ditangkap maka
secara spontan rakyat sipirok melakukan demonstrasi agar dia dibebaskan.
Masyarakat Sipirok merasa ikut serta dalam perjuangan fisik melawan
Belanda
yang datang kembali untuk menjajah. Dibenak rakyat Sipirok, Sahala Muda
Pakpahan dianggap yang paling berani dari Angkatan Gerilya Sipirok
(AGS). Tapi
pasukan Belanda tidak bergeming. Hebohnya pencarian, pengejaran dan
penangkapan
Sahala Muda Pakpahan diduga berkaitan dengan tewasnya Jenderal Spoor
yang
merupakan dalang utama dalam menghadang konvoi tentara Belanda di
Jembatan Aek
Kambiri, Simagomago. Letnan Sahala Muda Pakpahan kemudian ditembak
berkali-kali oleh Pasukan Belanda
ketika patriot muda ini mencoba melawan ketika mau dibawa ke Padang
Sidempuan. Sahala Muda Pakpahan telah menjadi 'martir' perjuangan bangsa
Indonesia. Selamat jalan, Bung.
Taman Makam Pahlawan (TMP) ' Simagomago', Sipirok |
***
Berita besar
tewasnya pimpinan tertinggi KNIL Jenderal Spoor di Sipirok, Tapanuli
Selatan, warga Belanda di tanah airnya di Netherland dan mungkin
pemerintahnya khususnya dari pihak kerajaan tampaknya tidak lagi menaruh
banyak harapan
pada kebijakan Politionele Actie yang dimaksudkan untuk
menegakkan kembali pemerintahan Belanda di bekas tanah jajahannya.
Serangan pasukan Belanda di Tapanuli Selatan terpaksa berakhir
di front pertempuran di Arse (Sipirok), karena dari Panyabungan
telah datang kabar yang disampaikan utusan
Bupati Kabupaten Batang Gadis, Raja Junjungan Lubis (Bupati Tapanuli
Selatan yang kedua/Gubernur Sumatera Utara yang ketujuh), Gubernur
Militer Tapanuli: Kolonel A.E. Kawilarang, dan Komandan Territorial-VII,
Ibrahim Adji, bahwa
perang melawan Belanda pada agresi militer kedua telah
dimenangkan Republik Indonesia pada front diplomatik di PBB.
Pada
tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia
disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja
Bundar, sebuah pertemuan antara perwakilan pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang
dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasil perundingan itu antara lain dan yang
terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan selambat-lambatnja pada
tanggal 30 Desember 1949. Setelah penyerahan kedaulatan dilaksanakan Ratu
Belanda, sejak bulan Agustus hingga November tahun 1949 berlangsung pula serah
terima penguasaan tanah jajahan Belanda di lapangan ke tangan bangsa Indonesia (kecuali Irian Barat yang
masih dikuasai Belanda).
Selanjutnya,
pada tanggal 30 Nopember 1949,
berlangsung serah terima pemerintah sipil Kewedanaan Sipirok dari
pejabat Belanda yang disebut kortoir selaku PBA (Plaatselijk Bestuurs Adviseur
= Penasehat Pemerintah Setempat) Belanda yang berkedudukan di Padang
Sidempuan kepada M. D. Harahap selaku Wedana di Sipirok yang disambut
gembira warganya. Di
bidang keamanan PBA menyerahkannya kepada Mayor Bedjo (Brigade-B)
mewakili
Maraden Panggabean sebagai penanggungjawab pertahanan dan keamanan
Keresidenan
Tapanuli di wilayah Padang Sidempuan. Hadir
pada serah terima tersebut wakil dari KTN (Komisi Tiga
Negara). Puluhan ribu rakyat yang membanjiri halaman balai kota Sipirok menjadi
saksi lalu bersorak gembira. Kortoir itu ternyata tidak lupa mengucapkan “Hidup Republik Indonesia”,
usai penandatanganan dokumen bersejarah itu. Setelah serah terima itu,
anggota pasukan Belanda, pejabat sipil dan kaki tangan NICA bergegas meninggalkan
Sipirok. Juga, setelah timbang terima itu banyak pengikut Belanda yang ikut
ke Padang Sidempuan dan Sumatera Timur karena takut masyarakat dendam.
***
Letnan
Sahala Muda Pakpahan telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam
upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Padang
Sidempuan, khususnya di Sipirok. Keberanian dan ketangguhan telah
tunjukkan oleh pemuda belia yang masih berumur 23 tahun ini dan bahkan
levelnya jauh di atas para pemimpin-pemimpin komondanya. Sahala Muda
Pakpahan yang bergerilya dari satu tempat ke tempat lainnya dalam upaya
perlawanan (menyerang dan bertempur) terhadap pasukan Belanda tidak
perlu diragukan. Bahkan dengan tangannya sendiri ia berhasil menembak
hingga tewasnya Jenderal Hendrik Simon Spoor--sebagai pimpinan KNIL
terakhir di bumi nusantara. Sahala Muda Pakpahan adalah pahlawan
Sipirok, Pahlawan Padang Sidempuan, Pahlawan Tapanuli, Pahlawan Sumatera
dan tentu saja sebagai Pahlawan Nasional. Sudah tentu, jasa
perjuangannya bagi bangsa Indonesia patut dihormati sebagai pejuang
bangsa Indonesia. Kini, paling tidak pemerintah Kota Padang Sidempuan
dan pemerintah Kecamatan Sipirok telah mengabadikan namanya sebagai
pahlawan kusuma bangsa. Di Sipirok namanya diabadikan sebagai nama
stadion sepakbola 'Stadion Sahala Muda Pakpahan' dan di Padang Sidempuan
namanya diabadikan sebagai nama jalan--'Jalan Sahala Muda Pakpahan'.
Lihat: Daftar nama-nama baru jalan di Kota Padang Sidempuan
Benteng Padang
Sidempuan dan Benteng Huraba: Inspirasi Lahirnya Tokoh-Tokoh Militer Utama Indonesia Asal Tapanuli Selatan
Benteng
Huraba (1949) dan Benteng Padang Sidempuan (1849) adalah dua benteng
yang
sangat fenomenal di Tapanuli Bagian Selatan. Seratus tahun sebelum
Benteng
Huraba, Pasukan Belanda memasuki kota dan menduduki Benteng Padang
Sidempuan.
Benteng Padang Sidempuan direbut pasukan Belanda dari arah selatan
(Bukit
Tinggi/Panyabungan), sementara Benteng Huraba tidak pernah ditembus
pasukan
Belanda untuk menuju Panyabungan/Bukittinggi. Di Benteng Huraba, pasukan
Belanda menghadapi pertempuran dimana mereka harus mundur kembali. Skak
mat. Benteng Huraba, menjadi semacam garis demarkasi dalam perang
kemerdekaan di Sumatera Utara antara daerah yang dikuasai dengan daerah
yang tidak pernah dikuasai. Daerah yang tidak dikuasai itu adalah
Kabupaten Batang Gadis dengan ibukota Panyabungan--tempat dimana Bupati
yang mengendalikan pemerintahan Padang Sidempuan mengungsi setelah kota
Padang Sidempuan jatuh ke tangan pasukan Belanda.
Dengan demikian, selama perang kemerdekaan daerah Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) tidak seluruhnya dikuasai oleh (pasukan) Belanda. Hal ini mengingatkan kembali bahwa di masa lalu ketika daerah pertahanan Sisingamangaraja dapat direbut pasukan Belanda pada tahun 1907 maka pada waktu itu seluruh Sumatera Utara menjadi dapat dikuasai (pasukan) Belanda. Ini berarti dua pertempuran (pasukan) Belanda beda generasi di Sumatera Utara (Tapanuli dan Sumatera Timur) selalu berakhir di Tapanuli. Pada masa penaklukan/penjajahan berakhir di Bakkara (1907) dan pada masa perang kemerdekaan/agresi militer berakhir di Benteng Huraba (1949).
Dengan demikian, selama perang kemerdekaan daerah Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) tidak seluruhnya dikuasai oleh (pasukan) Belanda. Hal ini mengingatkan kembali bahwa di masa lalu ketika daerah pertahanan Sisingamangaraja dapat direbut pasukan Belanda pada tahun 1907 maka pada waktu itu seluruh Sumatera Utara menjadi dapat dikuasai (pasukan) Belanda. Ini berarti dua pertempuran (pasukan) Belanda beda generasi di Sumatera Utara (Tapanuli dan Sumatera Timur) selalu berakhir di Tapanuli. Pada masa penaklukan/penjajahan berakhir di Bakkara (1907) dan pada masa perang kemerdekaan/agresi militer berakhir di Benteng Huraba (1949).
Sementara itu,
peristiwa-peristiwa
yang mengerikan di wilayah Tapanuli Bagian Selatan di masa 'doeloe' oleh
tindakan bumi hangus pasukan Paderi dan
penderitaan oleh penjajahan Belanda memunculkan anak-anak negeri di
Tapanuli
Bagian Selatan untuk angkat senjata untuk mempertahankan harga diri
(Benteng
Huraba dan Benteng Padang Sidempuan). Keberanian pemuda-pemuda Tapanuli
Bagian
Selatan yang bersumber dari inspirasi dua benteng tersebut menjadi
semacam
'password' munculnya tokoh-tokoh militer utama di Indonesia yang berasal
dari Tapanuli Bagian Selatan. Tokoh-tokoh tersebut, antara lain:
7.
Mayjen (Pol) M.H. Ritonga (Kapolda Metro Jaya)
0.
Mayjen (Pol) Saud Usman Nasution (Kepala Humas Polri)
1. Mayjen Erwin Hudawi Lubis (Pangdam Jaya)
1. Mayjen Gindo Siregar (Gubernur Jenderal Tapanuli dan Sumatera Timur-Selatan)
dan
lainya
1. Mayjen Erwin Hudawi Lubis (Pangdam Jaya)
1. Mayjen Gindo Siregar (Gubernur Jenderal Tapanuli dan Sumatera Timur-Selatan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar