Rabu, 16 April 2014

Letnan Sahala Muda Pakpahan (‘Jenderal Naga Bonar’) vs Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor (Sipirok, 1949): Lahirnya Tokoh-Tokoh Militer Utama di Indonesia


*Dikompilasi dari berbagai sumber: Akhir Matua Harahap
Prakondisi di Tapanuli Selatan dan Padang Sidempuan
Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan tahun 1833 dari arah Natal yang ketika itu di Tapanuli masih suasana Perang Paderi (1825-1838). Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan untuk menyatakan keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di daerah Pasaman. Setahun kemudian, Belanda memulai pemerintahan sipil di Tapanuli yang dipimpin Asistent Resident berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis. Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan  kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri dari berbagai luhat--dimana setiap luhat  mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada dibawah pengaruh siapapun. Luhat-luhat yang dimaksud adalah Sipirok, Angkola, Marancar, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Batang Natal, Natal, Sipiongot dan Pakantan.

Kemudian pada tahun 1906 Tapanuli ditingkatkan menjadi keresidenan dan mengangkat seorang Resident di Padang Sidempuan. Pada tahap selanjutnya ibukota Tapanuli dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Sibolga sehubungan dengan kebijakan pemerintahan Belanda membagi wilayah Tapanuli menjadi tiga afdeeling, yaitu: Padang Sidempuan, Sibolga dan Tarutung. Setiap afdeeling dipecah menjadi onderafdeling. Khusus di wilayah afdeeling Padang Sidempuan (Tapanuli Bagian Selatan) terdapat delapan onderafdeeling yang masing-masing dipimpin oleh seorang Controleur yang berkedudukan di: Batangtoru, Angkola, Sipirok, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Ulu/Pakantan, dan Natal. Dibawah onderafdeeling, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan distrik yang dikepalai oleh seorang Demang. Kemudian di bawah Demang pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan Kuria untuk membawahi sejumlah kampung (huta). Introduksi hakuriaan ini merupakan upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menghilangkan fungsi luhat (yang dipimpin Raja Panusunan Bulung) namun tidak ingin mencampuri urusan 'pemerintahan' huta yang dipimpin oleh Raja Pamusuk (Sipungka Huta). Huta ini dijalankan menurut hukum adat, tetapi secara teknis pemerintah kolonial selalu intervensi untuk menentukan siapa yang sebaiknya dijadikan Raja Pamusuk. Dalam perkembangan selanjutnya di akhir masa kolonial (jelang pendudukan Jepang) jumlah onderafdeeling di Tapanuli Selatan diringkas menjadi tiga: Angkola/Sipirok, Padang Lawas, dan Mandailing/Natal.
Pendidikan Ala Barat di Tapanuli Selatan: Migrasi dan Pergerakan Politik
Dalam memulai pemerintahan kolonial di wilayah Tapanuli Selatan, pemerintah Belanda memperkenalkan pendidikan barat (1853) dan kemudian membangun Kweekschool (sekolah guru) di Padang Sidempuan 1879. Dalam waktu singkat, tidak sedikit putra dan putri Tapanuli Selatan dari berbagai huta telah berhasil mengenyam pendidikan barat, baik sebagai lulusan Kweekschool (Sekeolah Guru), Volksschool (Sekolah Rakyat), Hollandsch-Inlandsche School (HIS) setingkat sekolah dasar, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setingkat sekolah menengah,  maupun Algemeene Middelbare School (AMS) setingkat sekolah menengah atas. Tiga yang disebut terakhir menggunakan bahasa Belanda. Dengan modal pendidikan dasar dan menengah ini memungkinkan putra-putri Tapanuli Selatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di perguruan tinggi di luar Sumatera, seperti Rechtskundige Hooge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum yang lulusannya bergelar Meester in de Rechten (Mr); Geneeskundige Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran, yang lulusannya bergelar dokter (Dr); Technische Hoge School (THS) atau Sekolah Tinggi Teknik yang lulusannya bergelar ingenieur (Ir). Seluruh pendidikan tinggi ini ketika itu menggunakan bahasa Belanda dan hanya terdapat di pulau Jawa.. 

HIS di Padang Sidempuan 1936-1939 (Foto: KITLV.NL)
Adanya pendidikan ala barat lebih awal di Tapanuli Selatan dibanding daerah lainnya di Sumatera (Utara) dan terbukanya jalur pendidikan tinggi di luar daerah Tapanuli Selatan, memungkinkan putra-putri Tapanuli Selatan untuk merantau (migrasi). Di perantauan khususnya Sumatera Timur para migran ini dengan mudah mendapat pekerjaan di perusahaan-perusahaan asing, menempati posisi dalam bentuk-bentuk pergerakan politik dan menjadi guru-guru yang handal di perantauan. Penyebaran guru-guru Padang Sidempuan ini sebagian ditempatkan oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan guru di Sumatera Timur, Aceh, Riau, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Sementara itu, ketika dinamika pergerakan semakin terasa, pemuda-pemudi asal Tapanuli Selatan ini juga terus mengasah nasionalism di perguruan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Pada tahun 1909 di negeri Belanda lahir Indische Vereniging (yang akhirnya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) yang anggotanya terdiri para mahasiswa. Cikal bakal terbentuknya Perhimpunan Indonesia ini pada awalnya digagas oleh Radjiun Harahap Gelar Sutan Casayangan, putra dan alumni Kweekschool Padang Sidempuan yang waktu itu menjadi asisten Prof. Charles Adriaan van Ophuysen (ahli bahasa Melayu) di Universiteit Leiden.

Singkat cerita, di seputar kemerdekaan Republik Indonesia, putra-putri terbaik Tapanuli Selatan sudah muncul dimana-mana dan telah memainkan peran yang penting di berbagai sektor, seperti Adam Malik Batubara (penggagas proklamasi), Mr. Amir Syarifuddin Harahap (One of Founding Father Indonesia / Perdana Menteri), Dr. Gindo Siregar (Gubernur Jenderal Tapanuli-Sumatera Timur), Mr. Sutan Muhammad Amin Nasution (Gubernur Sumatera yang kedua dan Gubernur Sumatera Utara yang pertama dan yang kelima), Mr. Luat Siregar (Residen Sumatera Timur/Walikota Medan pertama), Kolonel Abdul Haris Nasution (Panglima Komando Jawa), Kolonel Zulkifli Lubis (ahli intelijen negara), Burhanuddin Harahap (Perdana Menteri); Kolonel Ir. MO Parlindungan Siregar (ahli senjata lulusan Jerman yang bertempur di Surabaya). Abdul Hakim Harahap (Wakil Residen Tapanuli / Menteri Pertahanan / Gubernur Sumatera Utara yang keempat); Sutan Kumala Pontas Nasution (Gubernur Sumatera Utara yang keenam), Radjamin Nasution Sutan Kumala Pontas (Walikota Surabaya yang pertama), Sutan Syahrir (Perdana Menteri) Amir Bachrum Nasution, Marzuki Lubis, Martinus Lubis (pemuda pejuang Kota Medan), Sakti Alamsyah Siregar (Penyiar RRI yang 'mengudarakan' rekaman pembacaan proklamasi oleh Soekarno/Hatta secara diam-dima dan pendiri Harian Pikiran Rakyat Bandung) dan Parada Harahap (Wartawan Pejuang). Daftar ini belum termasuk para guru, sastrawan, wartawan dan pejabat pemerintahan.   
Pendudukan Jepang dan Agresi Militer Belanda: Para Perantau ‘Mulak Tu Huta’
Di Tapanuli Selatan, para orangtua dan para kerabat yang telah mengetahui akan kedatangan serdadu-serdadu fasis Jepang yang akan masuk ke nusantara (termasuk Tapanuli), meminta para pemuda-pemudi ini secepatnya pulang untuk menyelamatkan diri. Itulah sebabnya mengapa muncul gelombang  pengungsian anak-anak negeri yang berbondong-bondong kembali ke Tapanuli Selatan dari tanah perantauan saat itu, seperti: Sumatera Timur, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, bahkan yang berada jauh di pulau Jawa. Namun diantara putra-putra Tapanuli Selatan ini cukup banyak yang tidak sempat atau tidak berkeinginan  ‘mulak tu huta’ (pulang kampung) karena merasa perannya lebih dibutuhkan di dalam pergerakan, pemerintahan, pertahanan dan keamanan di daerah rantau. Ternyata kemudian tidak semua pengungsi yang kembali ke Tapanuli Selatan menuju ke huta (kampung halaman) masing-masing dan sebagian besar justru memutuskan tinggal (menetap) di Padang Sidempuan untuk mengamati perkembangan keadaan dan ikut memainkan peran dalam pergerakan politik, menyusun strategi perjuangan dan membentuk fungsi-fungsi pertahanan untuk mengusir penjajah.
***
Puncak pergolakan akhirnya terjadi di Sumatera Timur dan kabar itu cepat menyebar hingga ke Padang Sidempuan. Kelompok pejuang muncul ke permukaan yang dimotori para pemuda Sumatera Timur dan Tapanuli yang di satu sisi sudah muak dengan Jepang selama pendudukan dan di sisi lain tidak sudi lagi kembalinya pemerintah Belanda yang datang membonceng pasukan Sekutu. Dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, lahirlah barisan-barisan pembela RI dalam beragam bentuk dimana-mana termasuk di Tapanuli. Belanda lalu memulai agresi militernya yang pertama tanggal 21 Juli 1947, dan menamakan tindakannya sebagai aksi polisionil. Sebagai catatan, agresi militer Belanda yang pertama sesungguhnya telah dimulai tanggal 12 Mei 1947, karena di pantai barat pulau Sumatera, kapal perang JT-1 dari Angkatan Laut Belanda telah lebih dahulu memasuki teluk Sibolga dan menghujani ibukota Keresidenan Tapanuli itu dengan tembakan meriam dari laut yang menyebabkan kebakaran besar terjadi di dalam kota. Rakyat Sibolga lalu berbondong-bondong meninggalkan ibukota Tapanuli itu menuju pedalaman untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu, agresi militer Belanda di Sumatera Timur ketika itu juga telah menyebabkan gelombang arus pengungsi dari berbagai daerah konflik di Sumatera Timur menuju wilayah republik di Tapanuli. Para pengungsi yang bergerak agak panik dan kacau-balau. Dalam rombongan pengungsi ini terdapat rakyat sipil yang berusaha menyelamatkan diri dan juga ternyata terdapat juga sejumlah laskar yang terpukul mundur. Sampai dengan tanggal 20 September 1947, jumlah pengungsi dari Sumatera Timur tidak kurang dari 150.000 orang sudah berada di daerah Tapanuli. Para pengungsi ini adalah rakyat yang tidak sudi berdiam di daerah-daerah pendudukan Belanda dan kemudian berbondong-bondong meninggalkan Binjai, Tanjung Pura, Pancur Batu, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Rampah, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Brastagi dan Kabanjahe. Sementara itu, adanya pengungsi yang lebih awal datang pada bulan Juli 1947 saja sudah membuat wilayah Tapanuli menghadapi masalah besar. Karena itu, panitia penampungan pengungsi pun lalu dibentuk di berbagai kota di Tapanuli termasuk Padang Sidempuan. Di kota-kota tersebut juga didirikan pusat-pusat palang merah.

***
Untuk memberi kebebasan bergerak kepada pemerintah republik di Tapanuli dalam keadaan darurat, oleh Dewan Pertahanan Daerah (DPD) Tapanuli, jumlah kabupaten yang terdapat dalam Keresidenan Tapanuli ditingkatkan dari empat menjadi menjadi sembilan kabupaten dan ibukota keresidenan lalu dipindahkan dari Sibolga. Keputusan pemecahan wilayah ini diambil untuk menghindarkan lumpuhnya pemerintah republik di Tapanuli, apabila pasukan Belanda dalam agresi selanjutnya berhasil menduduki salah satu kabupaten di Tapanuli. Khusus di wilayah Tapanuli Selatan, kabupaten kemudian dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu:
  1. Kabupaten Padang Sidempuan dengan ibukota Padang Sidempuan (terdiri dari Kewedanaan Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok),
  2. Kabupaten Batang Gadis dengan ibukota Panyabungan (terdiri dari seluruh Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal),
  3. Kabupaten Padang Lawas dan Barumun dengan ibukota Gunung Tua (terdiri dari Padang Lawas dan Barumun).

Padang Sidempuan Jatuh Ke Tangan Pasukan Belanda
Setelah mendapat gempuran bertubi-tubi dari laut, Sibolga akhirnya jatuh ke tangan Belanda tanggal 20 Desember 1948. Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu maka wilayah Tapanuli terjepit. Lantas, pemerintah republik di Tapanuli memutuskan untuk melebur semua laskar perjuangan yang ada (termasuk yang mengungsi) di seluruh wilayah Tapanuli di bawah komando Mayor Maraden Panggabean. Pimpinan komando lalu menugaskan pasukan republik Brigade-B pimpinan Mayor Bejo untuk segera menahan serangan pasukan Belanda yang sudah bergerak menuju Padang Sidempuan. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda kemudian tiba di Batangtoru. Untuk menahan akselerasi pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan republik yang dimotori laskar Padang Sidempuan eks anggota Kapten (anm) Koima Hasibuan untuk melakukan taktik pencegatan dan bumi hangus. Karenanya, seluruh jembatan yang menuju Padang Sidempuan diruntuhkan, pohon-pohon yang berdiri sepanjang jalan raya ditumbangkan ke tengah jalan, jalan-raya yang rata diberi berlubang dimana-mana agar kendaraan militer Belanda tidak dapat melewatinya, dan bangunan-bangunan yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya lalu dibakar dan diruntuhkan. Inilah salah satu bukti pengorbanan rakyat dan laskar rakyat Padang Sidempuan dalam mengusir kedatangan (pasukan) Belanda ke Padang Sidempuan kembali.

Jembatan Batang Toru 1936-1939 (Foto: KITLV..NL)
Semua taktik bergerilya yang dilakukan laskar republik ketika itu ternyata pasukan Belanda tetap saja merangsek. Pasukan Belanda yang berpengalaman perang itu, lengkap dengan persenjataan dan kendaraan lapis baja ternyata mampu mengatasi rintangan yang ada. Pasukan Belanda tampaknya mengungguli pasukan republik. Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 1949 pasukan Belanda berhasil memasuki wilayah Padang Sidempuan. Setiba di dalam kota, pasukan Belanda tampaknya 'kecele' karena menemukan ibukota Padang Sidempuan itu sudah dibumihanguskan--seperti halnya 'Bandung lautan api' 24 Maret 1946. Pasukan Belanda juga menemukan kota dalam keadaan kosong karena telah ditinggalkan rakyat Padang Sidempuan mengungsi ke luar kota. Pasukan Belanda tampaknya tidak menduga apa yang telah dilalui dan yang terjadi di depan mata. Sebaliknya, apa yang telah dilakukan oleh pasukan gerilya telah menunjukkan bukti bahwa pasukan gerilya dapat membuat nyali pasukan Belanda menjadi selalu waswas dan mungkin keberaniannya bisa jadi telah mengendor. 

***
Pemerintah republik di Padang Sidempuan pimpinan Bupati Sutan Doli Siregar, Patih Ayub Sulaiman Loebis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan (logistik) rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok (ibukota Kewedanaan Siprirok). Dari Sipirok para pimpinan itu direncanakan unuk meneruskan perjalanan ke Panyabungan (sebagai ibukota Kabupaten Batang Gadis). Di Kewedanaan Sipirok sendiri, antisipasi perlawanan terhadap pasukan Belanda sudah terbentuk dan dilakukan oleh laskar rakyat yang dinamakan AGS (Angkatan Gerilya Sipirok). AGS ini dipimpin oleh Sahala Muda Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar

Komando angkatan gerilya Sipirok ini selanjutnya menjadi sangat penting untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda dan membuat pertahanan di Sipirok dan penyerangan ke daerah induk Padang Sidempuan. AGS ini sendiri sesungguhnya baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok tanggal 3 Januari 1949. Sejumlah eks laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dan telah mengungsi di Sipirok lalu direkrut untuk memperkuat barisan AGS. Anggota laskar yang menganggur itu diantaranya para anak buah Kapten Koima Hasibuan, eks pasukan ‘Naga Terbang’ dan sejumlah anggota kepolisian Sipirok. Para laskar ini lalu seluruhnya dipersenjatai senapan locok yang hanya itu yang ada ketika itu. Dalam tempo yang realtif singkat, kekuatan barisan AGS sudah memadai dan siap untuk melakukan pertempuran besar.

Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki  Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik dalam pertempuran itu. Pasukan republik ini terpaksa mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta pejuang yang gugur dan anggota pasukan yang terluka. Selanjutnya pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda, dan pemerintahan republik di Sipirok terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa Indonesia telah berhasil melakukan diplomasi di PBB. 

Patroli pasukan Belanda
Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar (Patih dan Kepala Logistik Padang Sidempuan) berangkat ke Batang Angkola rute gerilya dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Panyabungan (ibukota Kabupaten Batang Gadis). Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga Siregar (Residen 'adinterim' Tapanuli), Sutan Doli Siregar (Bupati Padang Sidempuan/Bupati Tapanuli Selatan yang pertama), Abdul Hakim Harahap (Wakil Residen Tapanuli), dan Maraganti Siregar (Wedana Sipirok) untuk mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang diplomatik kepada masyarakat di pedalaman. 

Selanjutnya setelah pasukan Belanda mengetahui pemerintah republik telah meninggalkan Sipirok dan membuat pos di Arse, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya. Lantas pemerintahan Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok dipindahkan ke Simangambat. Sipirok sendiri masuk daerah pendudukan Belanda dan Arse adalah garis demarkasi yang menjadi teitori pihak Belanda. Pengungsian rakyat telah berlangsung sejak 7 Maret 1949. Pasukan Belanda yang terus menyerang itu pada dasarnya terdiri dari pasukan-pasukan yang bermarkas di Sipirok. Setiap pasukan umumnya terdiri hanya dua orang militer asli Belanda dengan perlengkapan militer lengkap tetapi didukung sejumlah anggota pasukan lainnya yang notabene merupakan orang-orang berkulit coklat yang mungkin berasal dari anak bangsa kita sendiri.
Benteng Huraba: Batas Demarkasi Sisa Sumatera Utara dan Pusat ‘Pemerintahan Darurat Republik Indonesia’ di Bukittinggi
Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan dan Siprok ke tangan pasukan Belanda serta kekalahan yang dialami pasukan dan laskar rakyat, maka atas inisiatif front pertahanan republik di Huta Goti diadakan perundingan yang melibatkan berbagai komponen pertahanan yang berada di kantong-kantong gerilya di luar kota Padang Sidempuan termasuk yang berada di wilayah Sipirok. Tujuan diadakan perundingan ini untuk menyusun grand strategi dalam merebut kota Padang Sidempuan kembali dari tangan pasukan Belanda. Kekuatan perlawanan terhadap pasukan Belanda tersebut meliputi pasukan yang terdiri dari Brimob Tapanuli pimpinan Iptu Ibnu, pasukan kompi Brigade-B  yang dipimpin Kapten Robinson Hutapea serta laskar rakyat AGS yang dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan plus dukungan masyarakat. Dalam perundingan itu, strategi penyerangan dan pertempuran direncanakan dengan matang dan dikoordinasikan dengan baik. Hasilnya, dalam suatu pertempuran yang boleh dikatakan  cukup alot dan bahkan berlangsung selama tiga hari dan akhirnya dapat merebut kembali kota Padang Sidempuan. Inilah kali kedua kota Padang Sidempuan direbut kembali dari pasukan Belanda (sebelumnya dari arah Sipirok, kini dari arah Goti).
Setelah kota Padang Sidempuan direbut, pasukan Belanda mundur ke Batangtoru. Namun baru berselang enam jam kota Padang Sidempuan ke pangkuan ibu pertiwi kembali, tiba-tiba secara mendadak muncul dua pesawat tempur di langit Padang Sidempuan dan menembaki kota yang disusul dengan pasukan Belanda yang melakukan putar balik di Batangtoru. Suasana panik dan serangan darat dari pasukan Belanda dari arah Batangtoru tidak mampu ditahan oleh gabungan pasukan dan terpaksa harus mundur secara bertahap ke Huta Goti, Huta Pijorkoling, Huta Pintu Padang dan akhirnya konsolidasi kembali untuk bertahan di Huta Huraba. Sementara sebagian anggota pasukan yang dibantu oleh rakyat Padang Sidempuan ini diminta agar tetap bertahan di Huta Pijorkoling. Dalam suatu penghadangan di Pijorkoling terjadi pertempuran dan pasukan mini ini mengalami kerugian besar dan para pasukan republik mundur ke Huta Huraba untuk bergabung dengan induknya. Akhirnya wilayah Padang Sidempuan sepenuhnya dikuasai oleh pasukan Belanda. 
Pasukan Belanda yang sudah menguasai wilayah Padang Sidempuan tampaknya belum puas dan khawatir terjadi lagi perlawanan balik. Pasukan Belanda kemudian menyusun rencana strategis baru untuk melumpuhkan lawan dalam rangka untuk menguasai wilayah Mandailing. Lalu pasukan Belanda merangsek dan mulai melakukan penyerangan terhadap lawan yang dilaporkan membuat pertahanan berupa benteng di Huta Huraba. Rencana penyerangan dimulai dari Pijorkoling dengan taktik serangan ‘holistik’ dengan cara mengepung dari empat jurusan. Pasukan Belanda dalam hal ini dibantu oleh dua orang penunjuk jalan (scout) yang desersi dari anggota Brimob Tapanuli yang bernama Makaleo dan Syamsil Bahri. Dalam serangan pasukan Belanda yang tidak diduga pasukan RI itu, pasukan Belanda berhasil merebut Benteng Huraba. Pasukan Brimob Tapanuli, Brigade-B dan laskar rakyat lantas mundur dan menjauh ke Huta Tolang.

***
Posisi Benteng Huraba yang diduduki pasukan Belanda ini sangat strategis dan menjadikannya sebagai garis front baru untuk mempertahankan wilayah Padang Sidempuan. Karena itu, pasukan Belanda menetapkan  untuk melakukan pertahanan di Benteng Huraba. Sementara itu, di Huta Tolang, komandan Brimob Tapanuli yang datang dari Panyabungan (ibukota Batang Gadis) mengumpulkan seluruh pasukan yang ada dan melakukan konsolidasi kembali untuk tugas penyerangan balasan terhadap pasukan Belanda yang sudah bertahan di Benteng Huraba. Pada tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB penyerangan oleh pasukan republik dilancarkan ke jantung pertahanan pasukan Belanda di Benteng Huraba  Dalam pertempuran di benteng ini pasukan gabungan republik menggunakan mortir untuk memperkuat daya tampur.  Pertempuran ini terjadi sangat heroik dan membutuhkan waktu dan baru pukul 16.30.WIB pasukan gabungan berhasil memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba dapat direbut kembali.
Pasukan Belanda yang dikalahkan lalu kocar-kacir dan mundur ke Padang Sidempuan. Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan republik baik jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan Brimob Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur dalam pertempuran yang heroik itu. Untuk sekadar diketahui, Benteng Huraba sendiri adalah pertahanan terakhir dari perlawanan rakyat di wilayah Provinsi Sumatera Utara terhadap pasukan Belanda dalam agresi militer Belanda kedua. Suatu benteng yang pada masa ini berada di dekat Kota Padang Sidempuan di Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan. Benteng ini tidak saja lokasinya yang sangat strategis untuk sebuah tempat pertahanan juga posisinya yang persis berada di jalur lintas satu-satunya kala itu antara Padang Sidempuan ke Bukittinggi.
Pertempuran Aek Horsik, Simagomago: Letnan Sahala Muda Pakpahan (‘Jenderal Naga Bonar’) Menembak Mati Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor
Setelah pertempuran di Benteng Huraba, diperoleh kabar dari intelijen di Padang Sidempuan bahwa pasukan Belanda berikut kendaraan lapis baja akan mengalihkan serangan ke Arse pada tanggal 8 Mei 1949. Ini berarti untuk penyerangan balik ke Benteng Huraba tampaknya ditunda sementara. Hal ini karena pasukan Belanda merasa khawatir pasukan republik yang tengah bergerilya di seputar Sipirok semakin kuat dan dapat menguasai kembali Sipirok. Sebab selama pertempuran di Benteng Huraba dilaporkan bahwa pasukan republik masih terus menerus melakukan gangguan terhadap pasukan Belanda di Sipirok. Bahkan setiap langkah patroli pasukan Belanda di Sipirok, pasukan republik tetap menunjukkan perlawanan.

Peta Aek Horsik, 1905
Sementara itu, pada tanggal 23 Mei 1949 para petinggi militer Belanda di Batavia akan datang ke Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) untuk mengapresiasi keberhasilan pasukan Belanda selama dua fase agresi di daerah ini. Karena itulah, pasukan Belanda coba mengalihkan ke Sipirok untuk membersihkan para laskar rakyat di Sipirok, karena toh pasukan republik di Benteng Huraba semakin kuat dan sulit dikalahkan. Ini berarti, pada saat kedatangan petinggi militer Belanda yang mau datang sesungguhnya Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) belum sepenuhnya dapat dikendalikan oleh pasukan Belanda. Sebab Kabupaten Batang Gadis masih tetap menjadi daerah aman, tempat dimana pemerintahan Padang Sidempuan sebelumnya melakukan pengungsian.
Di Batavia, Panglima KNIL Letnan Jenderal Spoor (komandan tertinggi militer Belanda di Indonesia) merasa senang atas prestasi pasukan Belanda di Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli).  Berdasarkan laporan yang diterimanya bahwa wilayah Sumatera Utara ketika itu sudah sepenuhnya telah dikuasai pasukan Belanda, maka Jenderal Spoor dengan rombongan ingin memastikan laporan itu dengan menggunakan jalan darat dari daerah pertempuran terakhir di Padang Sidempuan menuju kota Medan (dari selatan ke utara). Jenderal Spoor kemudian berangkat dari Batavia menuju bandara Pinangsori (Sibolga) dan Spoor langsung menuju Padang Sidempuan. Namun setiba di Padang Sidempuan Jenderal Spoor sangat kecewa karena kenyataannya belum sepenuhnya Keresidenan Tapanuli dikuasai, bahkan pasukan republik justru telah membangun benteng pertahanan yang kuat di Huta Huraba (jalan lintas Padang Sidempuan menuju Bukittinggi, tempat dimana waktu itu ibukota Republik Indonesia berada).

Makam Jenderal Spoor di Menteng Pulo, Jakarta
Tepat pada tanggal 23 Mei 1949, konvoi yang membawa rombongan Jenderal Spoor tiba-tiba diserang oleh laskar gerilya yang tergabung dalam AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Letnan Sahala Muda Pakpahan. Penyerangan yang telah direncanakan dengan matang oleh laskar AGS dilaksanakan tepat di jembatan Aek Horsik, Simagomago--suatu lokasi strategis untuk penyergapan. Dalam pertempuran pencegatan itu, cukup banyak pasukan Belanda yang tewas termasuk Jenderal Spoor (Simon Hendrik Spoor  lahir di Amsterdam, 12 Januari 1902). Namun setelah itu sempat beredar berita sumir bahwa kematian Jenderal Spoor adalah akibat serangan jantung. Ini tampaknya digunakan pemerintahan militer Belanda untuk meredam munculnya euforia kemenangan di kalangan pasukan pribumi. Karena itu, Panglima tertinggi tentara kerajaan Belanda di Hindia Belanda (1945–1949) dilaporkan meninggal tanggal 25 Mei 1949 di Batavia dan dimakamkan di pekuburan Menteng Pulo. Boleh jadi kalangan elit Belanda ketika itu malu seorang jenderal bisa dibunuh dalam sebuah pertempuran hanya oleh seorang pemuda militan yang masih berumur 23 tahun yang dijuluki sebagai ‘Jenderal Naga Bonar’ dari Sipirok. 

Rakyat Sipirok waktu itu meyakini bahwa Jenderal Spoor meninggal di Sipirok, karena pasca kejadian penyergapan di Aek Horsik, iring-iringan sisa pasukan Belanda ketika mundur menuju Padang Sidempuan (untuk mengevakuasi Jenderal Spoor yang tertembak), rakyat Sipirok yang tinggal di sepanjang jalan raya Padang Sidempuan - Sipirok menyaksikan sendiri bahwa semua kendaraan militer pasukan Belanda dihiasi dengan tanda kuning (sesuatu yang mungkin tidak lazim dalam suatu pertempuran, kecuali ada hal khusus?). Juga, menurut pengamatan rakyat di Sipirok, Padang Sidempuan dan pos-pos penjagaan pasukan Belanda tampak bendera Belanda dalam posisi setengah tiang (sekali lagi, ini juga merupakan pemandangan yang tidak lazim). Untuk sekadar diketahui, dalam satu kesempatan Gubernur Sumatera Teuku Muhammad Hasan pernah dengan sengaja berkunjung langsung di Sipirok--suatu wilayah 'kecil' setara kecamatan di pedalaman pulau 'besar' Sumatera..
***
Dengan tewasnya Jenderal Spoor di Sipirok, maka pasukan Belanda yang ada di Padang Sidempuan dikerahkan untuk menghajar pasukan AGS di Sipirok dan ingin menangkap hidup-hidup Letnan Sahala Muda Pakpahan. Dalam pengejaran ini pasukan Belanda didukung dengan pesawat capung Belanda untuk memantau dari udara. Pasukan Belanda tampaknya sudah kalap karena pasukan AGS pimpinan Letnan Sahala Muda Pakpahan ini sangat lihai bergerilya. Tak tahan dengan permainan Letnan Sahala Muda Pakpagan dengan anggota pasukannya yang dibantu oleh rakyat, maka pasukan Belanda mulai menggedor rumah-rumah rakyat dan bahkan menembak setiap laki-laki dewasa. Pasukan Belanda menganggap rakyat adalah benteng para pasukan republik dan dari rakyat banyak yang ikut menjadi penjuang, maka tindakan mereka membunuh rakyat di rumahnya masing-masing mereka anggap legal. Inilah yang menyebabkan rakyat Sipirok banyak yang mati terbunuh di tangan pasukan Belanda. Aneh memang, begitu bernafsunya pasukan Belanda untuk mengejar dan menangkap seseorang live or die hingga tak mampu menahan diri untuk membunuh rakyat biasa yang tengah membukakan pintu rumahnya ketika digedor-gedor hanya karena seorang yang bernama Sahala Muda Pakpahan. Letnan Sahala Muda Pakpahan, seorang pentolan laskar rakyat yang pemberani yang masih berumur 23 tahun akhirnya dapat ditangkap dan ditahan Belanda. Sekadar catatan: Banyak contoh kekejaman di dunia kemiliteran dilakukan karena membalas kematian seorang teman seperjuangan, apalagi membalas kematian seorang komandan. Peristiwa pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945 diduga keras timbul karena kematian seorang Jenderal Mallaby--komandan tertinggi pasukan Sekutu di Surabaya.


Taman Makam Pahlawan (TMP) ' Simagomago', Sipirok
Ketika rakyat Sipirok mengetahui Letnan Sahala Muda Pakpahan telah ditangkap maka secara spontan rakyat sipirok melakukan demonstrasi agar dia dibebaskan. Masyarakat Sipirok merasa ikut serta dalam perjuangan fisik melawan Belanda yang datang kembali untuk menjajah. Dibenak rakyat Sipirok, Sahala Muda Pakpahan dianggap yang paling berani dari Angkatan Gerilya Sipirok (AGS). Tapi pasukan Belanda tidak bergeming. Hebohnya pencarian, pengejaran dan penangkapan Sahala Muda Pakpahan diduga berkaitan dengan tewasnya Jenderal Spoor yang merupakan dalang utama dalam menghadang konvoi tentara Belanda di Jembatan Aek Kambiri, Simagomago. Letnan Sahala Muda Pakpahan kemudian  ditembak berkali-kali oleh Pasukan Belanda ketika patriot muda ini mencoba melawan ketika mau dibawa ke Padang Sidempuan. Sahala Muda Pakpahan telah menjadi 'martir' perjuangan bangsa Indonesia. Selamat jalan, Bung.
***
Berita besar tewasnya pimpinan tertinggi KNIL Jenderal Spoor di  Sipirok, Tapanuli Selatan, warga Belanda di tanah airnya di Netherland dan mungkin pemerintahnya khususnya dari pihak kerajaan tampaknya tidak lagi menaruh banyak harapan pada kebijakan Politionele Actie yang dimaksudkan untuk menegakkan kembali pemerintahan Belanda di bekas tanah jajahannya. Serangan pasukan Belanda di Tapanuli Selatan terpaksa berakhir di front pertempuran di Arse (Sipirok), karena dari Panyabungan telah datang kabar yang disampaikan utusan Bupati Kabupaten Batang Gadis, Raja Junjungan Lubis (Bupati Tapanuli Selatan yang kedua/Gubernur Sumatera Utara yang ketujuh), Gubernur Militer Tapanuli: Kolonel A.E. Kawilarang, dan Komandan Territorial-VII, Ibrahim Adji, bahwa perang melawan Belanda pada agresi militer kedua telah dimenangkan Republik Indonesia pada front diplomatik di PBB.
Pada tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar, sebuah pertemuan antara perwakilan pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949.  Hasil perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949. Setelah penyerahan kedaulatan dilaksanakan Ratu Belanda, sejak bulan Agustus hingga November tahun 1949 berlangsung pula serah terima penguasaan tanah jajahan Belanda di lapangan ke tangan bangsa Indonesia (kecuali Irian Barat yang masih dikuasai Belanda).
Selanjutnya, pada tanggal 30 Nopember 1949,  berlangsung serah terima pemerintah sipil Kewedanaan Sipirok dari pejabat Belanda yang disebut kortoir selaku PBA (Plaatselijk Bestuurs Adviseur = Penasehat Pemerintah Setempat) Belanda yang berkedudukan di Padang Sidempuan kepada M. D. Harahap selaku Wedana di Sipirok yang disambut gembira warganya. Di bidang keamanan PBA menyerahkannya kepada Mayor Bedjo (Brigade-B) mewakili Maraden Panggabean sebagai penanggungjawab pertahanan dan keamanan Keresidenan Tapanuli di wilayah Padang Sidempuan. Hadir pada serah terima tersebut wakil dari KTN (Komisi Tiga Negara). Puluhan ribu rakyat yang membanjiri halaman balai kota Sipirok menjadi saksi lalu bersorak gembira. Kortoir itu ternyata tidak lupa mengucapkan “Hidup Republik Indonesia”,  usai penandatanganan dokumen bersejarah itu. Setelah serah terima itu, anggota pasukan Belanda, pejabat sipil dan kaki tangan NICA bergegas meninggalkan Sipirok. Juga, setelah timbang terima itu banyak pengikut Belanda yang ikut ke Padang Sidempuan dan Sumatera Timur karena takut masyarakat dendam.


***
Letnan Sahala Muda Pakpahan telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Padang Sidempuan, khususnya di Sipirok. Keberanian dan ketangguhan telah tunjukkan oleh pemuda belia yang masih berumur 23 tahun ini dan bahkan levelnya jauh di atas para pemimpin-pemimpin komondanya. Sahala Muda Pakpahan yang bergerilya dari satu tempat ke tempat lainnya dalam upaya perlawanan (menyerang dan bertempur) terhadap pasukan Belanda tidak perlu diragukan. Bahkan dengan tangannya sendiri ia berhasil menembak hingga tewasnya Jenderal Hendrik Simon Spoor--sebagai pimpinan KNIL terakhir di bumi nusantara. Sahala Muda Pakpahan adalah pahlawan Sipirok, Pahlawan Padang Sidempuan, Pahlawan Tapanuli, Pahlawan Sumatera dan tentu saja sebagai Pahlawan Nasional. Sudah tentu, jasa perjuangannya bagi bangsa Indonesia patut dihormati sebagai pejuang bangsa Indonesia. Kini, paling tidak pemerintah Kota Padang Sidempuan dan pemerintah Kecamatan Sipirok telah mengabadikan namanya sebagai pahlawan kusuma bangsa. Di Sipirok namanya diabadikan sebagai nama stadion sepakbola 'Stadion Sahala Muda Pakpahan' dan di Padang Sidempuan namanya diabadikan sebagai nama jalan--'Jalan Sahala Muda Pakpahan'. Lihat:  Daftar nama-nama baru jalan di Kota Padang Sidempuan
Benteng Padang Sidempuan dan Benteng Huraba: Inspirasi Lahirnya Tokoh-Tokoh Militer Utama Indonesia Asal Tapanuli Selatan
Benteng Huraba (1949) dan Benteng Padang Sidempuan (1849) adalah dua benteng yang sangat fenomenal di Tapanuli Bagian Selatan. Seratus tahun sebelum Benteng Huraba, Pasukan Belanda memasuki kota dan menduduki Benteng Padang Sidempuan. Benteng Padang Sidempuan direbut pasukan Belanda dari arah selatan (Bukit Tinggi/Panyabungan), sementara Benteng Huraba tidak pernah ditembus pasukan Belanda untuk menuju Panyabungan/Bukittinggi. Di Benteng Huraba, pasukan Belanda menghadapi pertempuran dimana mereka harus mundur kembali. Skak mat. Benteng Huraba, menjadi semacam garis demarkasi dalam perang kemerdekaan di Sumatera Utara antara daerah yang dikuasai dengan daerah yang tidak pernah dikuasai. Daerah yang tidak dikuasai itu adalah Kabupaten Batang Gadis dengan ibukota Panyabungan--tempat dimana Bupati yang mengendalikan pemerintahan Padang Sidempuan mengungsi setelah kota Padang Sidempuan jatuh ke tangan pasukan Belanda. 

Dengan demikian, selama perang kemerdekaan daerah Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) tidak seluruhnya dikuasai oleh (pasukan) Belanda. Hal ini mengingatkan kembali bahwa di masa lalu ketika daerah pertahanan Sisingamangaraja dapat direbut pasukan Belanda pada tahun 1907 maka pada waktu itu seluruh Sumatera Utara menjadi dapat dikuasai (pasukan) Belanda. Ini berarti dua pertempuran (pasukan) Belanda beda generasi di Sumatera Utara (Tapanuli dan Sumatera Timur) selalu berakhir di Tapanuli. Pada masa penaklukan/penjajahan berakhir di Bakkara (1907) dan pada masa perang kemerdekaan/agresi militer berakhir di Benteng Huraba (1949). 
Sementara itu, peristiwa-peristiwa yang mengerikan di wilayah Tapanuli Bagian Selatan di masa 'doeloe' oleh tindakan  bumi hangus pasukan Paderi dan penderitaan oleh penjajahan Belanda memunculkan anak-anak negeri di Tapanuli Bagian Selatan untuk angkat senjata untuk mempertahankan harga diri (Benteng Huraba dan Benteng Padang Sidempuan). Keberanian pemuda-pemuda Tapanuli Bagian Selatan yang bersumber dari inspirasi dua benteng tersebut menjadi semacam 'password' munculnya tokoh-tokoh militer utama di Indonesia yang berasal dari Tapanuli Bagian Selatan. Tokoh-tokoh tersebut, antara lain:

1. Jemderal Besar Abdul Haris Nasution (Panglima TNI yang kedua)
2. Kolonel Zulkifli Lubis (Kepala Intelijen Negara yang pertama)
3. Mayjen Marah Halim Harahap (Gubernur Sumatera Utara yang kesebelas)
4. Mayjen Kaharuddin Nasution (Gubernur Riau yang pertama/Gubernur Sumatera Utara yang ketigabelas)
5. Letjen Achmad Rivai Harahap (Panglima Kodam Iskandar Muda)
6. Mayjen Raja Inal Siregar (Gubernur Sumatera Utara yang keempatbelas)
7. Mayjen (Pol) M.H. Ritonga (Kapolda Metro Jaya)
8. Mayjen Syamsir Siregar (Kepala BIN)
9. Letjen Azmyn Yusri Nnasution (Pangkostrad)
0. Mayjen (Pol) Saud Usman Nasution (Kepala Humas Polri)
1. Mayjen Erwin Hudawi Lubis (Pangdam Jaya)
1. Mayjen Gindo Siregar (Gubernur Jenderal Tapanuli dan Sumatera Timur-Selatan)
dan lainya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar